Komnas HAM dan Kementerian PPA Didorong Perkuat Pengawasan dalam Kasus Perlindungan Anak
MAKASSAR,Sabtu 18 Januari 2024
Pengamat Sosial Kritik Minimnya Tindakan Konkret Unit PPA Polrestabes Makassar Dalam Kasus Pengambilan Paksa Anak*
Jupri, seorang pengamat sosial, saat ditemui di salah satu warkop seputaran Jalan Gunung Salahutu (16/01/25), menilai lambannya penanganan kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Unit PPA Polrestabes Makassar. Salah satu kasus yang kini menjadi perhatian publik adalah kasus pengambilan paksa anak yang melibatkan mantan atasan pelapor, yang menunjukkan lemahnya sistem perlindungan hukum di Indonesia. “Kasus ini melibatkan anak sebagai korban yang sangat rentan. Respon lambat itu ditunjukkan dengan berbagai alasan, seperti libur lebaran, tidak dapat dibenarkan karena menyangkut keselamatan anak,” tegasnya.
Kasus ini sendiri telah dilaporkan dengan nomor laporan LP/410/III/2024/Restabes Mksr/Polda Sulsel. Dalam perkembangannya, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP-Sidik/270/VI/RES.1.24/2024/Reskrim pada 26 Juni 2024. Pasal yang diterapkan dalam kasus ini adalah Pasal 330 Ayat (1) KUHP tentang “Barang Siapa dengan Sengaja Menarik Seseorang yang Belum Cukup Umur dari Kekuasaan yang Berwenang”.
Jupri juga mengkritik dugaan pelanggaran etika aparat kepolisian, seperti pertanyaan pribadi yang tidak relevan kepada pelapor, serta minimnya langkah konkret dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). “Anak seharusnya segera diamankan setelah ada laporan kekerasan dan pengambilan paksa anak. Kegagalan ini menimbulkan tanda tanya besar,” ujarnya.
Ia menyoroti kejanggalan pengalihan fokus kasus dari ranah pidana ke perdata. “Kasus ini jelas pidana karena melibatkan pengambilan paksa anak dan kekerasan. Mengapa harus menunggu keputusan perdata? Jika permohonan perdata yang diajukan oleh terlapor dalam kasus pengambilan paksa anak tersebut dikabulkan oleh hakim yang menyidangkannya, besar dugaan saya kasus ini bisa masuk dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Maka dari itu aparat penegak hukum harus memahami bahwa kasus pidana berfokus pada pelanggaran hukum, sementara perdata adalah sengketa antarindividu,” jelas Jupri.
Selain itu, ia mempertanyakan dugaan adanya upaya suap dari terlapor. “Jika indikasi suap ada, tindakan hukum harus dilakukan terhadap upaya tersebut. Hal ini merusak kepercayaan publik terhadap penegak hukum,” tambahnya.
Jupri menegaskan, negara harus hadir melindungi hak anak dan memberikan keadilan bagi korban. “Kasus ini tidak boleh menjadi preseden buruk dalam perlindungan perempuan dan anak. Penegak hukum harus tegas, transparan, dan mengutamakan kepentingan korban. Saya berharap Kompolnas, Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Kementerian PPA, Komnas HAM, dan Kapolri dapat dengan tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap aparat penegak hukum yang diduga melakukan pelanggaran,” pungkasnya. (Hasmiaty umi)